Buat kedua kalinya, cerpenku nampang lagi di GalanMagz. Senengnyaa… Terserah deh mau dianggep bisa nampang karena jabatanku sebagai editor GM. Yang penting, sekarang nampangnya 5 halaman euy… Bayangin dong, dikasih nampang lima halaman sama si Pemred! Kebayang dong gimana senangnya hatiku ^^ Kali ini, yang nampang adalah salah satu penghuni SECOND PROJECT, Tomahadi Lagi. Tanpa berpanjang lebar, silakan nikmati sendiri Tomahadi Lagi, yang selalu bikin aku senyum-senyum sendiri tiap kali baca.
TOMAHADI LAGI
Aku memandangi ruangan tempatku berada. Ini hari pertama aku kursus Bahasa Inggris lagi setelah setahun berhenti. Ibu guru di depan masih sibuk mengabsen. Aku mendengarkan satu-satu nama yang disebut dan mencari anak yang mengangkat tangan.
“Roni Widyanto.” Lho, itu kan nama teman SD-ku.
“Absent, Mam.” sahut seseorang.
“Sharania Anggia.” Aku mengangkat tangan.
“Tomahadi Kumoro Yakti.”
BLARR! Bagai disambar geledek di siang bolong, jantungku berhenti berdenyut. Sss…siapa tadi? Tomahadi Kumoro Yakti?
“Sick, Mam.” Seorang anak menyahut.
“Sakit apa?” tanya Bu Guru.
“Katanya sih pusing.” jawab anak itu lagi. Bu Guru kemudian menyelesaikan absen dan memulai pelajaran.
Ya Allah, kenapa harus ketemu dia lagi, sih? Orang yang sekuat tenaga berusaha kulupakan, tapi dengan semena-mena sering muncul dalam mimpi-mimpiku di tengah malam. Setelah setahun lebih tak pernah melihat batang hidungnya, kenapa sekarang harus sekelas lagiii?
Tomahadi Kumoro Yakti. Berapa orang sih di dunia ini yang punya nama antik begitu? Aku yakin, Tomahadi Kumoro Yakti yang nggak masuk ini sama dengan Tomahadi Kumoro Yakti yang kukenal, yang punya senyum menawan, tampang rupawan, dan tatapan melelehkan. Pasti dia, Tomahadi Kumoro Yakti yang selalu membuat hatiku kebat-kebit tiap kali berpapasan!
Aku sempat berniat tidak mau masuk les keesokan Rabunya. Tapi niat itu kuurungkan karena Ryu terlanjur sudah menjemputku sepulangnya ia dari sekolah. Kakak sepupu yang sejak setahun lalu tinggal di rumahku itu juga les di tempat, hari, dan jam yang sama denganku, cuma berbeda kelas dan tingkat. Dia lebih tinggi tingkatnya dariku. Ya iyalah, dia kan kelas 2 SMA dan aku kelas 2 SMP.
Semenjak di tangga detak jantungku sudah tidak karuan. Aku dan Ryu berpisah di lantai 2. Kelasku ada di lantai itu, sedangkan Ryu di lantai 3. Begitu aku membuka pintu kelas, sebuah suara jahil yang kukenal langsung menerpa telingaku.
“Wah, Anggia les di sini juga rupanya!”
Aku mendongak dan mendapati Roni, pemilik suara jahil itu, mengenakan kaus pink yang kontras dengan warna kulitnya, berdiri di ambang jendela bersama seorang cowok berjaket biru yang sedang menatap keluar jendela. Tiba-tiba, dengan sebuah gerakan yang sangat cool, cowok berjaket biru itu menoleh kepadaku. Sebuah senyum mematikan segera hadir di wajahnya. Tatapannya yang lembut tepat menusuk jantungku, membuat tubuhku beku seketika. Tapi itu cuma 5 detik saja. Pada detik ke-6, aku balas menyapa Roni dengan respon standar bin nggak kreatif (yang juga nunjukin banget kalau aku salah tingkah), “Oh, lo les di sini juga?” Setengah tertawa, Roni berjalan menghampiriku. Aku buru-buru duduk di kursi terdekat. Kulirik sekilas, cowok itu tidak beranjak dari tempatnya. Untungnya ia sudah tidak menatapku lagi, jadi kesalahtingkahanku berkurang sedikit. Tanpa kusadari, Roni berdiri di hadapanku dan mengamati wajahku.
“Waaa… muka lo merah gitu! Lo grogi ya ketemu lagi sama Toma?” seru Roni. Aku gelagapan dan jadi makin salah tingkah. Secara tidak sadar aku menengok ke arah Toma untuk melihat reaksinya. Di luar dugaan, ia juga sedang memandangiku. Mata kami pun bertemu. Aaaarrrghhh, perutku rasanya diaduk-aduk! Mukaku semakin memerah. Tawa Roni makin keras.
Suara Jon Bon Jovi melantunkan It’s My Life menyelamatkanku dari peristiwa memalukan itu. Tergesa aku merogoh kantong celana. Ryu menelepon. Aku keluar dari ruang kelas sebelum menjawabnya.
“Ada apa?” tanyakku.
“Nanti kamu pulang sendiri nggak apa-apa, kan?” Ryu balik bertanya.
“Emangnya kenapa?”
“Aku nanti harus ke rumah temen dulu, mau nyelesein tugas kelompok. Kayaknya bakal lama. Sori tadi lupa ngasih tahu. Kamu bisa kan pulang naik angkot?” Aku terdiam sejenak. Waduh, naik angkot malam-malam? Sepanjang sejarah naik angkotku yang baru 10 kali itu, semuanya selalu di siang bolong dan dengan rute sekolah ke rumah, nggak pernah yang lain. Gimana dooong? Tapi Ryu kan harus nyelesein tugasnya…
“Nggak usah khawatir, aku bisa kok. Tenang aja.” kataku akhirnya.
“Kalau begitu hati-hati, ya.” Ryu menutup telepon.
Setelah menjejalkan handphone ke kantong celana, aku pergi ke kamar mandi. Aku akan kembali ke kelas kalau sudah bel. Daripada jadi bulan-bulanan Roni lagi. Di kamar mandi aku mengenang masa SD. Dulu, aku, Roni, dan Toma adalah teman baik. Kami cukup sering jalan bareng bersama teman-teman yang lain. Sampai saat kelas 6, entah mengapa tiba-tiba aku menyukai Toma. Tadinya aku masih berusaha menutupinya. Kemudian Roni menyadari aku mulai memperlakukan Toma secara khusus, jadi ia mulai meledekku. Gosip tentang aku menyukai Toma pun tersebar. Toma sih bertingkah seolah tidak mendengar apa-apa. Tapi aku kan bukan tipe orang yang suka jadi pusat perhatian (apalagi gara-gara gosip begituan). Pelan-pelan aku mengurangi komunikasi dengan Toma, sampai akhirnya putus sama sekali. Nah, di saat tidak ada komunikasi sama sekali itulah muncul gosip baru yang sempat menerbangkanku ke langit ketujuh: Toma juga naksir aku! Di lain pihak, gosip ini justru memperparah kesalahtingkahanku. Aku jadi makin tidak berani bertemu dengannya, bahkan kalau melihat bayangannya dari jauh saja aku langsung menghindar. Benar-benar tersiksa…
Anak-anak langsung berhamburan keluar kelas begitu bel pulang berbunyi. Aku terpaksa tinggal di dalam kelas lebih lama karena Tyas, yang juga teman sekelasku di sekolah, masih ingin mengirim lagu-lagu Fahrenheit yang ada di hpku ke hpnya. Herannya, Roni dan Toma juga tetap duduk di kursinya. Ngapain mereka? Nggak mungkin lagi nungguin aku, kan?
“Lo belom pulang, Ron? Nungguin gue juga?” Seorang cewek tiba-tiba masuk dan menghampiri Toma dan Roni.
“Ge-er banget lo. Gue nungguin Toma, kok.” Roni berdiri. “Oya, Anggia! Lo udah kenal belom, ini Inggrid, pacarnya Toma.” Roni berseru padaku. “Inggrid, itu Anggia, temen SD gue dan Toma.” Roni memberi tekanan khusus pada kata ‘temen SD’.
Cess… Sepertinya ada es meluncur ke lambungku. Aku berusaha menguasai diri. Dengan gerakan anggun, aku menoleh, berdiri, lalu berjalan ke arah mereka. Kemudian aku menjabat tangan Inggrid. “Anggia.” ujarku. “Inggrid.” katanya.
“Kok belom pulang?” tanyanya.
“Nungguin itu, temen lagi ngirim lagu.” Aku mengedikkan kepala ke arah Tyas.
“Lo pulang naik apa, Nggi?” Roni bertanya tiba-tiba.
“Ngg… naik angkot.”
“Naik angkot? Emang lo bisa? Seumur-umur lo kan nggak pernah naik angkot!” Roni terbahak. Toma tertawa kecil. Aku mendelik. Apa maunya sih si Roni?
“Rumahnya di mana?” Inggrid bertanya lagi.
“Bukit Cengkeh 2.” jawabku pendek.
“Searah sama Toma dan Roni dong…”
Aku mengangguk singkat.
“Udah, pulangnya ntar bareng kita aja.” usul Roni.
Sebuah es lain ikut-ikutan meluncur ke lambungku.
“Iya, bareng aja. Cewek jangan naik angkot sendirian malem-malem gini. Apalagi di luar mendung begitu.” timpal Inggrid. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Aduh, gimana niih?
“Nggi, sms!” seru Tyas. “Dari Ryu.”
Aku hendak mengambil hpku dari tangan Tyas untuk membacanya, tapi kalah cepat. Tyas sudah keburu membacanya duluan (seperti biasa).
“Katanya: ‘Hati-hati ya naik angkotnya. Sori banget nggak bisa nganterin. Ntar aku gantiin deh ongkosnya, hehehe’.” ujar Tyas.
Tyaaaasss!! Aku emang ngizinin kamu baca smsku, tapi jangan dibacain out loud gitu dooong… Di depan Toma lagi…
“Mau dibales apa Nggi?” tanya Tyas tanpa dosa. “Atau nggak usah dibales aja! Pura-pura ngambek, biar dia kalang kabut…”
Ingin aku membekap mulut Tyas. Kurenggut hpku dari tangannya dan secepat mungkin mengetikkan sms balasan dan mengirimnya ke Ryu.
“Pulang sekarang yuk.” Suara lembut itu terdengar dingin. Aku tidak tahu apa yang menyebabkannya menjadi sedingin es. Meski begitu, tetap saja aku berdesir mendengar suaranya!
“Ayo, Nggi.” Roni mengedikkan kepala. Aku mengikuti mereka dari belakang, setelah melayangkan pelototan kejam ke arah Tyas (yang masih memasang tampang sok innocent).
Roni menghentikan sebuah angkot 112. Bangku sebelah kiri baru diisi seorang mahasiswi. Roni menyuruhku naik pertama, lalu ia dan terakhir Toma. Aku segera mengambil tempat di pojok. Roni duduk di sebelah mahasiswi itu. Dasar Roni, nggak bisa ngeliat cewek cantik. Jantungku berhenti ketika menyadari satu-satunya tempat kosong di angkot itu tinggal di antara aku dan Roni. Berarti… Bahu kami bertemu saat Tomahadi duduk. Oh God… Dadaku rasanya mau meledak! Aku tidak berani menoleh ke sebelah kiriku. Aku terus saja memandang keluar jendela.
Langit malam makin kelam karena mendung. Beberapa kali terdengar suara petir. Sepertinya akan hujan. Waduh, aku nggak bawa payung lagi. Sepanjang jalan Roni terus meledek aku yang salah tingkah. Aku diam tak menghiraukan. Toma juga tidak menanggapi. Merasa diabaikan, Roni sebal dan mengunci mulutnya. Segerombol anak SMA yang menempati bangku untuk 6 orang menertawakan Roni. Cowok keriting itu jadi tambah keki. Mendadak hujan turun dengan sangat deras ketika mobil melewati gerbang Gunadarma. Hwaaa… Aku kan nggak bawa payung! Roni melirik jahil ke arahku yang sedang menatap langit dengan wajah super-melas.
“Bawa payung, Nggi?” tanyanya dengan senyum menghiasi wajahnya (cengiran sih, tepatnya). Tanpa menoleh, aku menggeleng. Makanya aku tidak tahu ada perubahan di wajah Toma.
“Kiri, Bang!” teriak Roni sebelum mobil melewati perempatan Gunadarma. “Duluan ya! Jangan lupa pulang!” serunya setelah meloncat turun dan membayar ongkos. Ia membuka payungnya, dan aku masih sempat mendengar tawanya sebelum ia menghilang.
Aku (dan juga Toma) turun di depan pura. Begitu menjejakkan kaki di tanah, titik-titik hujan bagai palu memukul-mukul kepalaku. Dalam sekejap aku basah kuyup. Angkot yang kami tumpangi buru-buru berlalu setelah Toma membayar ongkos (aku sudah bayar duluan). Aku memandang kanan dan kiriku, siap-siap menyeberang.
Tiktiktiktiktik…
Titik-titik hujan itu seperti beradu dengan sesuatu. Kuletakkan tangan kiriku di atas kepala. Aneh, punggung tanganku tidak basah. Jangan-jangan… Seketika aku berbalik. Kyaaaaa!!! Toma memayungiku! Ia berjalan ke sebelah kananku. “Ayo, nyebrang bareng.”
Aku menyeberang tanpa memperhatikan jalan, hanya mengandalkan Toma saja. Kalau ia berjalan, aku berjalan, kalau ia berhenti, aku juga berhenti. Pikiranku terpecah-pecah. Sebagian diriku senang bukan kepalang, sebagian malu, dan sebagian lagi gugup setengah mati. Aku berdiri agak jauh darinya, karena aku khawatir jika berdiri terlalu dekat dan kami tidak sengaja bersentuhan, dia bisa merasakan tubuhku sudah sedingin es. Gara-gara hal itu, badanku yang sebelah kiri basah kehujanan.
Tidak seperti biasanya, pangkalan ojek di depan pura kosong. Tak ada seorang pun tukang ojek yang mangkal. Tumben banget!
“Gue anter sampe tukang ojek di belokan depan.” ujar Toma melihat keadaan pangkalan ojek yang shelternya dihiasi gambar Mickey Mouse. Aku pasrah saja. Tapi aku merasa sedikit ragu. Pangkalan ojek di belokan depan kuburan itu kan jarang ada yang mangkal, paling cuma satu-dua tukang ojek doang.
Entah ada angin apa, kecemasanku lagi-lagi menjadi kenyataan. Pangkalan ojek di belokan depan kuburan kosong. Toma kelihatan frustasi. Aku memandang pertigaan di depan kami. Rumahku, Bukit Cengkeh, ada di sebelah kanan pertigaan. Rumah Toma, Nuansa Permai, ada di sebelah kiri pertigaan. Harus di sinikah kita berpisah?
“Ayo, jalan!” seru Toma tiba-tiba.
“Eh?” Aku menatap wajahnya.
“Ngapain berdiri aja? Nggak mau pulang?”
“Tapi…” Aku tak mengerti.
“I’ll walk you home.” potongnya.
WHAT??? Aku menjerit dalam hati.
“Ayo!” Ia berjalan mendahuluiku. Aku mengikutinya sambil meloncat-loncat kecil menghindari kubangan. Jalanan di situ benar-benar rusak parah.
Kurasa aku takkan pernah bisa melupakan apa yang terjadi selama 15 menit kemudian. Kedinginan, aku berjalan sambil menggosok-gosokkan tangan ke kedua lenganku. Tapi demi bisa berjalan satu payung dengan Toma seperti ini, aku tidak peduli bahkan bila harus menerjang banjir yang hari ini tumben-tumbennya absen menggenangi jalanan Bukit Cengkeh 2. Aku semakin keras menggosok-gosokkan tanganku. Toma memandangku sesaat.
“Pegangin bentar.” Ia menyerahkan payungnya kepadaku. Aku berhenti berjalan. Toma melepas jaketnya dan memakaikannya padaku. Untuk kesekian kalinya aku terpana.
“Eh? Nanti kamu…” Kalo aku yang pakai jaketnya, dia kedinginan dong? Buru-buru aku melepas jaketnya, namun langsung dicegah Toma.
“Udah, pakai! Kamu menggigil begitu.” Ia merapatkan jaket di tubuhku.
“Tapi…” “Ayo, jalan!” Toma mendorongku maju. Tangan kirinya menggosok-gosok bahu kiriku pelan. Meski basah, aku justru merasa telapak tangannya itu bagai pemanas ruangan yang menebar kehangatan ke seluruh tubuhku. Nyamaaaan sekali…
Setelahnya, keadaan menjadi tidak terlalu canggung lagi. Kami mulai bisa mengobrol, walau hanya seputar hal-hal standar, seperti sejak kapan dia les Bahasa Inggris di tempat itu; bagaimana kabar teman-teman SD yang lain; ekskul apa yang diikutinya di sekolah (yang jawabannya sudah bisa kutebak: futsal, apalagi coba); something like that-lah. Aku sudah berani berdiri tepat di sampingnya dan bahu kami kerap bersentuhan (yang bener sih bahu kami nempel setiap saat, karena ia tidak kunjung menurunkan tangannya dari bahuku). Aku dan Toma bersikap layaknya teman baik yang sering jalan bareng, seolah tak pernah ada apa-apa 2 tahun silam.
Hujan masih belum berhenti saat kami tiba di depan rumahku, meski sudah mereda. Aku merogoh tasku untuk mengeluarkan kunci.
“Nggi, gue pulang dulu ya.” ujar Toma mengejutkanku.
“Lho? Tunggu dulu, masuk dulu…” tahanku.
“Nggak usah, gue langsung balik aja. Udah malem.” tolaknya halus.
“Sebentar, ini jaketmu…” Aku melepas jaket Toma, tapi lagi-lagi ia mencegah.
“Biarin, kamu pakai aja. Kan minggu depan kita masih ketemu di kelas.”
“Well, kalo gitu… Makasih banyak ya, udah mau nganterin sampe rumah.” Aku merutuki diri sendiri karena tak bisa menemukan kata-kata yang lebih bisa meninggalkan kesan mendalam.
“No problem. That was a pleasure for me.” Toma tersenyum, maniiiiiiisss sekali. Aaahh, Toma, berhentilah, aku nggak kuat lagi!! Saking sibuknya aku menjerit-jerit dalam hati, aku tak sadar bahwa Toma berdiri tepat di depanku dan wajahnya tinggal berjarak beberapa senti dari wajahku. Tiba-tiba ia mendaratkan sebuah kecupan di keningku.
“Good night.” ucap Toma lembut. Setelah kembali memasang senyum menawannya, ia pergi di bawah rintik hujan dan menghilang dalam kegelapan malam. Aku shock berat. Darahku berhenti mengalir. Jantungku tak lagi berdetak. Ini… sungguhan, kah? Lututku mendadak lemas. Aku terhuyung. Kepalaku membentur pagar.
JEDUKK!!
“Hoi, Nggi! Bangun! Udah nyampe tempat kursus, nih!” Ryu mengguncang bahuku.
“Hm?” Aku menggeliat dan membuka mata. Eh, aku di dalam mobil? Kupandang Ryu di bangku pengemudi dalam seragam putih abu-abunya, lalu diriku sendiri. Aku juga masih mengenakan seragam sekolahku.
“Kepalamu nggak sakit, tadi terbentur kaca?” Ryu mengelus-ngelus kepalaku. Mendengar perkataannya, aku baru merasakan kalau kepalaku agak sedikit nyeri. Rupanya tadi cuma mimpi, ya…
“Kamu udah sadar belom sih, Nggi? Ini kan hari pertama kita kursus Bahasa Inggris di sini, kita belom ngambil buku paketnya. Bangun, dong!” Ia mengoceh sambil mengunci setir.
“Udah kok, bawel…” jawabku malas. Aku keluar dari mobil, diikuti Ryu.
Di tangga menuju lantai 2, banyak anak-anak sekolah berkeliaran. Ada yang duduk-duduk di tangga sambil mengobrol, mendengarkan musik dari handphonenya, atau sekedar mengawasi orang-orang yang berlalu lalang. Sebagian besar dari mereka masih mengenakan seragam sekolah masing-masing.
“Kelasmu di lantai 2 kan?” tanya Ryu. Aku mengangguk.
“Ruang 5.” tambahku. Ryu mendahuluiku mencari ruang kelasku.
“Ruang 5, ya… Nah, ini dia!” Ia menunjuk ruangan di depannya. Aku menghampirinya.
“Wah, kelasnya udah rame.” komentarku setelah melongok ke dalam.
“Kamu takut masuk ke dalam? Mau aku temenin?” goda Ryu.
“Nggak usah, ya.” Aku pura-pura melengos.
“Nggak apa-apa, nggak usah malu-malu… Ayo, aku temenin…” Ryu menarik tanganku.
“Wah, nggak usah repot-repot, Kakangmas Ryu yang paling tampan sedunia…” aku balik meledek Ryu. “Sana, cari kelasmu! Udah mau bel masuk juga.” Kudorong Ryu menjauh, tapi ia tak bergeming.
“Kamu gimana sih, aku mau nolongin juga, malah diusir-usir…” Ryu sok merajuk.
Bel panjang dibunyikan sekali. “Udah deh… Tuh, udah masuk!” Aku mendorong Ryu lagi.
“Iya, iya, aku pergi, jangan dorong-dorong gitu, ah. Genit banget sih…”Aku melotot. Ia tertawa. “Ya udah, aku ke kelas ya. Nanti kalo kamu keluar duluan, tunggu aku di bawah. Oke?” pesannya sambil mengacak rambutku.
“Tahu… Pergi sana!” aku menghalau tangannya dan membenahi rambutku yang berantakan.
“Dadah!” Ryu pergi setelah sebelumnya mencubit pipiku. Aku mendesis sebal. Setelah sepupuku itu menghilang dari pandangan, aku menuju kelasku.
“Wah, Anggia les di sini juga rupanya!”
JEGERR!!
Tanganku berhenti di handel pintu. Suara itu…
“Ruang 5 juga ya? Sekelas dong…” Suara itu lagi. Setelah mengumpulkan segenap keberanian, aku menoleh.
Sekitar satu meter dariku, berdiri dua orang cowok yang sangat kukenal. Yang satu, si pemilik suara tadi, berkulit gelap, rambut keriting, dan mengenakan kaus pink norak. Roni Widyanto. Satunya lagi, berkulit kuning langsat, mengenakan kaus putih, celana jeans, dan jaket biru. Siapa lagi kalau bukan si pemilik senyum menawan, tampang rupawan, dan tatapan melelehkan, Tomahadi Kumoro Yakti!
“Waaa… muka lo merah gitu! Lo grogi ya ketemu lagi sama Toma?” seru Roni.
Aku gelagapan. Secara tidak sadar aku menengok ke arah Toma untuk melihat reaksinya. Di luar dugaan, ia juga sedang memandangiku. Mata kami pun bertemu. Aaaarrrghhh, perutku rasanya diaduk-aduk! Mukaku semakin memerah. Tawa Roni makin keras.
“Kok masih di luar? Ayo masuk, kan udah bel.” Seorang wanita muda menegur kami. Dugaanku ia adalah guru kami. Tapi wajahnya seperti kukenal…
“Ayo, Nggi. Lo mau bengong di luar aja?” panggil Roni. Aku buru-buru masuk.
Di dalam kelas, aku sibuk berpikir. Ini apa-apaan sih? Aku ketemu Toma lagi, bahkan sekelas. Kayak mimpi yang tadi aja! Pakaian Toma dan Roni juga, sama persis… Bahkan Bu Guru yang ada di depan kelas itu juga mirip sama yang ada di mimpiku. Ini sih cuma kurang bagian Ryu nggak bisa nganter aku pulang! seruku dalam hati.
Tidak sampai setengah jam kemudian, handphoneku bergetar. Ada sms masuk. Dari Ryu.
‘Gi, ntar kamu pulang
sendiri nggak apa-apa ya? Aku harus ke rumah temen dulu, nyelesein tugas
kelompok buat besok. Sori banget ya…’
Tanganku gemetar. Di luar jendela, langit mulai berubah kelabu. Aku menatap Toma dengan perasaan tak karuan. Will my dream come true?
Saturday, July 05, 2008 12:07 a.m.